Jurnalis Selayaknya Miliki Pengetahuan Bahasa yang Standar

Edisi 1 Wawasan Jurnalistik, Februari 2024 Edisi 1 Wawasan Jurnalistik, 12 Februari 2024 tentang Pengetahuan Bahasa Wartawan 


Pengantar: 

Media online NuansaBaru.ID dengan tagline, "Geliat Informasi Indonesia" terus berbenah. Media berbadan hukum dari Menkum HAM R.I. ini berada di bawah payung perusahaan media PT HIKMAH PRODUCTION. Eksis dengan motto, "Berbasis regional, berwawasan nasional dan global". 

Mulai edisi Februari 2024 serangkaian momentum Peringatan Hari Pers Nasional Tahun 2024, media ini membuka ruang dengan label Wawasan Jurnalistik. Ruang ini disajikan dalam bentuk artikel dan setiap edisi memuat pembahasan seputar jurnalistik. 

Ruang ini dimunculkan spesial untuk kru NuansaBaru.ID dan diharapkan menjadi ajang diskusi dan interaksi kalangan internal kru media ini di mana pun berada.  

Namun, karena disajikan dalam bentuk artikel atau berita yang dipublikasi ke khalayak, redaksi menyadari informasinya tentu sampai ke ranah publik. Hanya saja, berdasarkan urung-rembuk dewan redaksi media ini, disepakati tidak menerima tanggapan, pertanyaan ataupun interaksi dengan pihak eksternal.

Dengan pertimbangan ruang ini disiapkan khusus untuk peningkatan wawasan jurnalistik dan pembinaan sumber daya manusia (SDM) kru media ini. 

Kendati demikian, bagi khalayak yang berminat atau mungkin kebetulan menyimaknya, disilakan saja. Dengan asumsi, menangkap, mencerna ataukah menjadikan referensi informasi media merupakan hak publik yang azasi.  

Ruang ini juga disajikan berkelanjutan dan ditayangkan berseri (beredisi). Akan tetapi waktu penayangannya dikondisikan serta tidak ditetapkan waktunya. (Redaksi).


NuansaBaru.ID, REDAKSI - Untuk memilih profesi menjadi seorang jurnalis atau wartawan ada anggapan yang mengatakan, "gampang-gampang susah". Gampangnya, kalau seseorang sudah bisa menangkap informasi atau peristiwa dan menulisnya, kemudian mempublikasikan ke media, maka ia tèlah menjalankan fungsi wartawan.   

Apalagi era digital saat ini, media online alias media cyber istilah klasiknya, "Tumbuh bak jamur di musim hujan". Artinya, seorang pewarta bagaimana pun kualifikasinya, saat ini relatif mudah dan punya peluang yang besar untuk menjadi wartawan.

Kemudahan untuk mendirikan media, termasuk kemudahan untuk mempublikasikan berita merupakan satu fase perkembangan jurnalistik era digital. Dari sudut pandang kemudahan-kemudahan tersebut tentu positif saja bagi derap langkah perkembangan pers dan jurnalistik (kewartawanan). 

Namun, di sisi lain secara logika, setiap perkembangan teknologi dipastikan akan ada eksesnya. Di ruang ini tidak akan membahas lebih jauh tentang plus-minus fase era digital bagi dunia pers. 

Sebagai edisi perdana Ruang Wawasan Jurnalistik ini, khusus akan membahas tentang bagaimana selayaknya modal dasar pengetahuan bahasa yang harus dimiliki oleh seseorang yang memilih profesi menjadi seorang wartawan. 

Uraian ini dipertegas lagi bahwa pencerahan ini diperuntukkan khusus bagi wartawan ataupun calon wartawan secara internal media NuansaBaru.ID di manapun berada. 

Kita mulai dari hal-hal yang kecil-kecil dan enteng saja. Akan tetapi sejatinya fenomena tersebut teramat menentukan dan cukup besar pengaruhnya terhadap eksistensi media. Apa itu? 

Pengetahuan bahasa yang idealnya patut dimiliki oleh seorang calon wartawan apalagi yang sudah resmi berstatus sebagai seorang wartawan.    

Pengetahuan bahasa seoramg wartawan bukanlah harus ahli bahasa atau alumni jurusan jurnalistik dari perguruan tinggi. Secara faktual, tak etis menyebut person, publik mengetahui bahwa wartawan berkualitas kalau ditelusuri latarbelakangnya, ternyata banyak yang basic-nya bukan alumni jurnalistik.

Profesi jurnalistik kesannya merupakan bidang pekerjaan yang bernuansa khas juga. Artinya, ada kecenderungan wartawan kualified itu lahir dari jalur praktisi media. Tentu saja kalau dia berlatarbelakang alumni jurnalistik kemudian terjun untuk eksis menjadi seorang wartawan, cenderung akan lebih baik lagi.

Kembali ke pengetahuan bahasa yang layak dimiliki seorang pewarta yang dikatakan tidak harus ahli bahasa. Akan tetapi seorang wartawan selayaknya mempunyai pengetahuan bahasa yang standar dan mumpuni. 

Jelasnya, wartawan harus tahu menyusun kalimat yang benar sesuai tatabahasa atau kaidah bahasa yang benar. Seorang wartawan yang pada hakekatnya juga seorang penulis, harus tahu struktur kalimat yang benar. Misalnya, ada subyek, ada predikat dan ada obyek atau pelengkap dan atau keterangan. 



Foto/Desain: Dok. swaradesa.com

Kesalahan Kecil yang tak Perlu Terjadi

Dalam praktek penulisan berita, tak semua struktur kalimat harus selalu lengkap. Apalagi dalam menulis berita - dengan mengacu pada asumsi bahasa jurnalistik - dikenal istilah gaya penulisan berita. Ada wartawan atau penulis, terkadang menerapkan satu, dua atau tiga kata saja sudah dibubuhkan tanda titik. 

Dalam artian, sudah bernilai satu kalimat. Kalau dicermati, kalimatnya tidak salah, bahkan sangat mungkin lebih enak dibaca. Kenapa? Karena penulisnya faham kaidah bahasa yang benar disinergikan dengan bahasa jurnalistik. 

Dalam konteks penulisan kata dan kalimat pemberitaan yang muncul, terkadang ditemukan hal-hal kecil yang tidak perlu terjadi. Diantaranya pemakaian huruf kapital (huruf besar) yang tidak tepat ataukah seharusnya menggunakan huruf besar tapi ternyata yang digunakan justru huruf kecil. Sebaliknya, ada kata yang huruf awalnya tidak perlu atau justru salah kalau menggunakan huruf besar, tapi menggunakan huruf besar. 

Demikian juga penggunaan tanda baca seperti titik, koma, tanda kutipan dan seterusnya, terkadang serampangan dan tidak sesuai kaidah. Termasuk pemakaian kata depan di dan ke yang tidak sesuai kaidah, begitu banyak ditemukan dalam pemberitaan. Padàhàl kalau dicermati pemakaian di dan ke yang benar tidak begitu sulit dipahami.      

Nah, kalau seorang penulis tidak mengetahui kaidah dasar itu, tidak heran kalau karya jurnalistik (beritanya), maaf, "payah". Boleh jadi banyak kekeliruan yang ia tidak sadari dan  pembaca cerdas atau audience tahu itu.  

Oleh karena itu, teman-teman jurnalis media ini, hendaknya introspeksi dan meluangkan waktu untuk terus belajar dan belajar sambil bekerja. Apalagi era sekarang, asal mau belajar, nyaris semua bidang, termasuk ilmu jurnalistik, bisa diakses dari internet. 

Uraian di ruang wawasan jurnalistik ini sebenarnya hanya selintas, dan diharapkan menjadi stimulan bagi Anda untuk terus belajar dan belajar lebih banyak lagi dari sumber lain. Bahkan tak tertutup kemungkinan akan muncul semacam umpan balik tentang satu gagasan jurnalistik yang patut didiskusikan.

Seterusnya, patut dingat bahwa berita, artikel dan semacamnya yang muncul di media bukan juga bahasa baku ataukah karya ilmiah yang harus benar, namun berkepanjangan dan mungkin kurang enak dibaca atau disimak. Dalam dunia kewartawanan itulah dikenal istilah bahasa jurnalistik. 

Indikator sederhananya, kalimatnya singkat, padat, mudah difahami audience dan enak dicerna, namun tidak bertentangan dengan kaidah bahasa. Khusus dalam artikel feature news terkadang penulis memperpanjang karena dibumbuhi dengan opini dan variasi bahasa sastra. 

Akan tetapi opini dan kata-kata sastra yang dimunculkan harus tetap berdasar fakta karena berita atau artikel itu non fiksi dan bukan fiksi. 
Yang jelas, apapun jenis dan gaya penulisan beritanya, mau berita lurus (stright news), reportase, feature news dan yang lainnya, sedapat mungkin tetap mengacu pada kaidah bahasa yang berlaku. 

Dengan asumsi, salah satu misi media adalah mendidik atau memberikan edukasi kepada masyarakat, temasuk pemakaian bahasa yang benar. Lantas, kalau kalimat-kalimat dalam sebuah berita banyak yang mis atau keliru, bagaimana berita itu bisa mengemban misi edukasi. 

Bahkan, kondisi terburuknya, kalau informasi yang terpublikasi banyak kesalahan pemakaian  kata atau kalimatnya kemudian menjadi referensi publik, bagaimana, ya? Secara tidak langsung bermakna, terjadi interaksi pendidikan antarmedia dengan masyarakat yang materi pendidikannya salah. "Disayangkan, kan?"

Uraian edisi berikutnya pada ruang Wawasan Jurnalistik ini akan ditampilkan sejumlah contoh riil kesalahan-kesalahan yang selayaknya tidak perlu, paling tidak, 'tidak perlu banyak terjadi' dalam upaya peningkatan eksistensi jurnalistik yang lebih bernilai. (*)

Penulis: ABDUL MUIN L.O


Topik Terkait

Baca Juga :