Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pencerahan Wakapolri, Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (1). Melindungi Dunia Pendidikan dari Paham Radikalisme

Senin, 15 Agustus 2022 | 03:05 WIB | 0 Views Last Updated 2022-08-14T19:45:09Z

 

 Wakapolri, Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (Foto: Divisi Humas Polri)



NUANSABARU.ID, JAKARTA -- Memasuki tahun ajaran baru 2022, Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri), Komjen Pol. Gatot Eddy Pramono memberikan pencerahan tengang radikalisme dan keterkaitannya. Uraiannya ditampilkan dalam 2 seri berikut ini.

Wakapolri, Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan.

Terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Menurutnya, berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022 menyebut bahwa sepanjang tahun 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.

"Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta; hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan," kata Gatot dalam keterangan tertulisnya, Jum'at (12/8-2022).

Di Indonesia, kata Gatot, data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi.

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi, yang utamanya menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk dengan masuk ke wilayah pendidikan.

"Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita, khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme," ungkap Gatot, sapaan singkat orang keduanya Polri tersebut.

Berita Terkait: Pencerahan Wakapolri, Komjen Pol Gatot Eddy Pramono (2). Lima Sebab Anak Muda Tertarik Narasi Intoleran dan Radikalisme

Jenderal bintang tiga ini menjelaskan, proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup pada kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).

Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.

"Hasilnya, sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah. Data-data ini tentu mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita kalahkan," tegasnya. 


Ibarat Sel Tidur  

Sebagai pintu terakhir sebelum menggumpal menjadi terorisme, radikalisme adalah sikap atau mental yang menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan

Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. secara lebih spesifik menjelaskan bahwa seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme, tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.

"Jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris. Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung dengan menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut," ujar Gatot.

Hal yang harus dipahami bersama, lanjut Gatot, radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar yang berbeda-beda pula. Umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yakni sebuah pemahaman dan sikap yang menolak keberadaan kelompok lain; risih dengan perbedaan.

"Itu sebabnya, tidak sedikit pakar dan pengamat yang menyebut radikalisme ibarat sel tidur yang sewaktu-waktu dapat tergerak untuk melakukan aksi-aksi anarkis," tandasnya. (Nina, Humas Poĺda Sulsel/ABDUL-NB/bersambung).




Hukum

×
Berita Terbaru Update